Efisiensi adalah Nasi Murahan untuk Rakyat
7 jam lalu
Rakyat mestinya mendapatkan hak atas pangan sehat, dan bukan korban eksperimen penghematan palsu. Total leracunan MBG mencapai 6000 anak lebih.
***
Kata “efisiensi” dalam praktik birokrasi di Indonesia sering kali terdengar manis di telinga publik. Ia seakan menjadi bukti bahwa negara berupaya mengelola anggaran dengan hemat dan bijak. Namun di balik slogan itu, terselip permainan lama yang kerap berulang: pemotongan alokasi dengan alasan efisiensi, penyisihan jatah untuk kalangan tertentu, hingga penyaluran program yang kualitasnya jauh dari standar layak. Ironinya, rakyat yang seharusnya menjadi penerima manfaat justru disuguhi layanan setengah hati—bahkan dalam kasus terbaru, nasi murahan yang berujung pada ribuan anak keracunan.
Ilustrasi pejabat MBG
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai salah satu inovasi pemerintah untuk menekan angka stunting kini justru berubah menjadi tragedi. Data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat bahwa hingga 21 September 2025, total kasus keracunan akibat MBG sudah mencapai 6.452 anak. Angka ini melonjak dari catatan sebelumnya, yang pada pertengahan bulan baru sekitar 5.360 kasus. Fakta ini bukan sekadar angka statistik, melainkan potret kegagalan negara dalam menjaga kualitas makanan anak sekolah.
Kecurigaan publik pun mencuat mengapa makanan yang diklaim “bergizi” justru menjadi sumber penyakit? Salah satu dugaan kuat adalah adanya permainan anggaran di balik layar. Ketika dana yang seharusnya dialokasikan penuh untuk bahan pangan berkualitas justru “dipotong” untuk kepentingan lain, maka jalan pintas yang ditempuh penyedia adalah membeli bahan paling murah. Murah bukan berarti efisien, tetapi rawan tercemar, berpotensi basi, dan jauh dari standar gizi yang dijanjikan. Dari sinilah lahir dugaan bahwa sebagian anggaran justru tidak sampai ke meja makan anak-anak, melainkan berhenti di meja pejabat.
Skema ini bukan hal baru dalam tradisi birokrasi. Dalam setiap proyek besar, selalu ada ruang jatah bagi kalangan tertentu yang dianggap berjasa atau memiliki posisi strategis. Porsi yang seharusnya digunakan untuk pengadaan terbaik justru dipangkas, dengan alasan harus ada bagian yang disisihkan. Akibatnya, kualitas layanan publik dikorbankan. Kasus MBG menunjukkan betapa berbahayanya praktik itu, bukan hanya merugikan secara finansial, tapi juga langsung mengancam nyawa ribuan anak.
Respon pemerintah menunjukkan lemahnya tanggung jawab Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, dalam beberapa pernyataan publik hanya menyebut pihaknya menunggu arahan Presiden untuk menghentikan program. Jawaban itu menimbulkan pertanyaan, jika ribuan anak sudah keracunan, mengapa pejabat masih memilih menunggu instruksi ketimbang segera bertindak? Sikap semacam ini semakin menguatkan asumsi publik bahwa keselamatan rakyat bukan prioritas utama, melainkan hanya angka di atas kertas yang bisa dinegosiasikan sesuai kepentingan politik.
Kecurigaan bahwa dana MBG sebagian masuk ke kantong pejabat bukanlah tuduhan tanpa dasar. Pola lama pengadaan barang dan jasa pemerintah di Indonesia kerap menyisakan ruang bagi praktik korupsi terstruktur. Harga bahan yang dibeli sering kali tidak sesuai dengan kualitas, sementara laporan resmi menunjukkan angka yang “rapi”. Dalam kasus makanan anak sekolah, ketidaksesuaian itu tampak dari bahan yang dipilih: lauk seadanya, nasi basi, sayur tak segar, hingga penyimpanan yang tidak memenuhi standar. Semua demi menutup selisih antara anggaran di atas kertas dan dana yang sesungguhnya dikeluarkan.
Dampaknya jelas, rakyat yang mestinya mendapatkan hak atas pangan sehat justru menjadi korban eksperimen penghematan palsu. Anak-anak yang seharusnya belajar dengan tenang kini justru terbaring di rumah sakit akibat keracunan. Orang tua kehilangan kepercayaan terhadap program negara, sementara pejabat terus berlindung di balik istilah efisiensi dan menunggu arahan. Padahal yang mereka lakukan tak lain hanyalah mempermainkan uang rakyat dengan dalih penghematan.
Jika pola ini tidak segera dihentikan, maka tragedi serupa akan berulang. Publik harus mendesak adanya audit menyeluruh terhadap penggunaan dana MBG, termasuk siapa saja penyedia bahan pangan dan bagaimana proses tender dijalankan. Transparansi ini penting agar dugaan aliran dana ke pejabat bisa dibuktikan atau dibantah dengan data. Tanpa pengawasan ketat, praktik potong-memotong anggaran akan terus terjadi, dan rakyat akan kembali menjadi korban.
Efisiensi sejati seharusnya bukan memangkas kualitas layanan, melainkan memangkas kebocoran dan korupsi. Jika pemerintah sungguh serius, maka langkah pertama adalah menegakkan standar kualitas makanan tanpa kompromi, melibatkan masyarakat sebagai pengawas independen, serta memberikan sanksi tegas bagi pejabat dan penyedia yang terbukti menyelewengkan anggaran. Hanya dengan cara itu, program makan bergizi bisa benar-benar bergizi, bukan sekadar slogan yang menutupi praktik busuk di balik meja birokrasi.
Kasus MBG adalah alarm keras bahwa efisiensi ala pejabat bukanlah solusi, melainkan sumber masalah baru. Irisan anggaran dan jatah yang disisihkan untuk kepentingan pribadi telah menjelma menjadi ancaman nyata bagi kesehatan rakyat. Jika negara ingin dipercaya kembali, maka harus ada keberanian untuk menyingkap permainan gelap itu dan mengembalikan setiap rupiah anggaran ke tempat seharusnya.

Penulis Indonesiana, komisaris dpk gmni up45 Yogyakarta,
2 Pengikut

Efisiensi adalah Nasi Murahan untuk Rakyat
7 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler